Setelah tukik-tukit selamat dari dimangsa oleh predator-predator,
maka dia akan melanjutkan perjalanan menuju ke laut yang lebih dalam
dimana mereka menuju tempat yang jumlah predatornya sedikit jumlahnya. Di laut yang lebih
dalam, mereka akan hanyut ke dalam arus yang cukup kuat yang tidak
dapat dilawan oleh tukik-tukik tersebut. Tukik tersebut akan
beristirahat mengikuti arus selama beberapa hari dan memakan makanan alami mereka yang hanyut dalam arus tersebut. Masa-masa ini disebut dengan
masa-masa yang hilang “the lost years”. Setelah tukik tersebut
dewasa menjadi penyu, maka mereka biasanya akan kembali ke perairan
di mana mereka ditetaskan untuk melakukan proses kawin dan bertelur.
Istilah head starting adalah usaha manusia untuk melakukan pembesaran
tukik hingga ukuran tertentu yang dirasa cukup bagi tukik melakukan
perjalanan secara aman menuju laut tanpa dimangsa predator. Tujuannya
positif namun hingga saat ini tidak ada penelitian ilmiah yang bisa
membuktikan bahwa cara ini (headstarting) membuahkan hasil. Sejauh ini hanya ada
satu departemen yang pernah melakukan penelitian kegiatan headstard
terhadap tukik dengan skala kegiatan yang paling besar dan paling
lama yaitu DNR – Department of Natural Resources di Florida. Mereka
melakukan headstard terhadap 18.000 tukik dalam rentang waktu 30
tahun, mulai 1958-1988. Kemudian penelitian dihentikan karena tidak
ada bukti bahwa kegiatan ini berhasil, dan tidak ada satupun penyu
hijau hasil dari kegiatan headstart yang berhasil didokumentasikan
bertelur.
Proses headstart memiliki beberapa kelemahan antara lain:
- Berpotensi membunuh insting liar tukik. Setelah tiga hari dilakukan headstart, biasanya tukik lebih malas/ lebih lemah untuk merangkak ke air. Manusia biasanya mensiasati dengan melepaskan tukik-tukik langsung ke air. Padahal seharusnya tukik merangkak sendiri minimal 5 meter di permukaan pasir sebelum mereka masuk air. Ini merupakan latihan fisik pertama para tukik.
- Tukik menjadi tergantung kepada manusia. Banyak sekali kasus dimana tukik yang dibesarkan menjadi sangat tergantung kepada manusia. Para tukik terlihat berkeliling disekitar pulau dan memiliki kecenderungan mendekati manusia karena terbiasa diberi makan oleh manusia.
- Kacaunya siklus alami perkembangan dan kehidupan penyu. Tukik yang mengalami headstarting akan kehilangan kemampuan untuk mengikuti siklus alami kehidupan mereka, karena para tukik sudah kehilangan yolk/ zat kuning telur/ cadangan makanan yang berguna sebagai bekal selama proses hanyut di dalam arus laut. Hilangnya yolk tersebut karena sudah habis terpakai oleh tukik itu sendiri pada saat tukik disimpan terlalu lama di bak penampungan pada saat kegiatan headstarting. Mereka akan kelaparan dan mati di laut karena mereka tidak dapat mengenali makanan alami mereka (karena sudah dibiasakan dengan makanan yang diberikan manusia)
- Jika tidak mati karena kelaparan, dikhawatirkan tukik akan mati dengan kondisi lingkungan alami mereka yang baru yang jauh berbeda dengan kondisi di kolam pembesaran yang tanpa arus, tanpa ombak dan tanpa predator.
- Dengan alasan-alasan diatas maka dikhawatirkan penyu tidak dapat meneruskan keturunan dan punah.
Di Indonesia kebanyakan Kelompok Pelestari Penyu melakukan kegiatan
headstarting untuk menarik lebih banyak turis asing untuk datang ke
tempat mereka dan sehingga turis-turis itu harus membayar sejumlah uang untuk dapat merilis/ melepas tukik,
atau menarik perhatian pemerintah dan individu yang merasa iba dengan
kegiatan “mulia” kelompok pelestari. Padahal apa yang dilakukan
oleh kebanyakan para "pelestari" penyu di Indonesia itu bahkan tidak
layak disebut dengan kegiatan headstarting karena:
- Headstarting didasari oleh niat baik untuk menyelamatkan tukik, sementara di Indonesia headstarting dilakukan dengan modus untuk mendatangkan turis dan untuk mendatangkan bantuan pemerintah.
- Proses headstarting dilakukan dengan cara menaruh tukik di dalam kolam sedalam 5 hingga 15 cm. Hal ini membuat paru-paru tukik tidak dapat berkembang dan menambah resiko mereka tidak selamat di alam setelah mereka dilepaskan secara tiba-tiba di laut.
- Tukik diberi makanan daging ikan cincang, bukan ikan atau udang hidup. Ini akan menumpulkan insting tukik untuk memburu makanan alami mereka.
- Tukik ditaruh dalam kolam atau bak kecil dalam situasi saling berhimpitan. Padahal di alam/ habitat aslinya tukik adalah binatang soliter/ penyendiri.
- Di beberapa tempat di Indonesia, tukik diberi air payau alih-alih air laut. Dengan berkembangnya teknologi, kelompok pelestari cenderung membor pinggiran pantai untuk mendapatkan air untuk mengisi kolam tukik daripada mereka harus bersusah payah setiap hari harus mengangkuti air laut dari pantai dengan ember dan kereta dorong. Tukik yang telah beradaptasi dengan air payau kemudian secara tiba-tiba dilepas kelaut akan membahayakan tukik tersebut karena dikhawatirkan ginjalnya tidak dapat beradaptasi dengan air laut yang kadar garamnya lebih tinggi daripada air payau.
Belum lagi kebanyakan dari pelestari penyu abal-abal itu tidak mengerti dengan pengobatan apapun apabila mereka menemukan adanya tukik yang terkena penyakit akibat pengelolaan yang amburadul. Jadinya tukik sakit, dan pasti mati apabila dilepas ke laut.
(berjamur) ini akibatnya kalau tukik dibesarkan oleh orang-orangyang tidak memiliki pendidikan penyu yang motivasinyauang melulu. Lihat juga background air yang kotor.Ini adalah tukik-tukik yang mati karena terkena jamur, saya heransekali dengan minat turis asing yang masih tinggi untukmendatangi tempat "konservasi" abal-abal macam gini
Bahkan tukik yang mati membusuk seperti ini juga tidak diangkatbangkainya menebar penyakit ke tukik-tukik yang laincoba lihat kotoran tukik bercampur di kolamTukiknya sudah gembung dan mengeluarkan bau yang tidak sedaporang yang memperlakukan tukik seperti ini seharusnya dipenjara
Biasanya tukik dijual dengan harga antara Rp10.000, Rp.50.000,
Rp.75.000 hingga Rp.200.000 bergantung kepada usia tukik tersebut dan
dimana mereka dijual. Sementara apabila tukik dibesarkan lewat
program headstarting dengan suasana mendekati kondisi alami di laut
(tangki besar, kepadatan tukik rendah, ada arus dan ombak buatan,
makan segar/hidup), dalam jangka waktu 3 bulan saja program akan
menghabiskan dana Rp.350.000 per tukik. Dengan angka semacam itu
jelas didapat kesimpulan bahwa program headstarting sangat mahal dan
tidak menguntungkan untuk bisnis. Bisa dibayangkan bagaimana
penderitaan tukik tersebut apabila pelaku berani melepas tukik dengan
harga Rp.50.000 atau Rp.75.000, apakah para tukik tidak kelaparan
dengan proses pembesaran minim biaya tersebut?
Kesimpulannya headstart tidak cocok dilaksanakan di Indonesia karena
headstart yang sejati biayanya mahal sementara tidak akan ada
siapapun yang mau membiaya program yang mahal tersebut. Sehingga
Direct Release adalah satu-satunya pilihan konservasi penyu yang
ramah penyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar