Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

Pulau Derawan "Momok Bagi Penyu Sisik"

Pulau Derawan adalah salah satu dari pulau utama yang ada di Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Hanya ada dua pulau dari belasan pulau di Kepulauan Derawan yang didiami oleh penduduk yaitu Pulau Derawan dan Pulau Balikukup.

Ketika melihat pulau Derawan dari jarak menengah, imajinasi kita tergoda untuk membayangkan sebuah pulau tropis dengan suasana pantai dan resort yang menarik. Sepanjang pinggiran pantai di Derawan dipenuhi dengan losmen terapung yang asri dan berwarna-warni.

Setibanya di Derawan, saya dan Dr.Hiltrud Cordes memutuskan untuk berjalan-jalan disebuah jalan utama satu-satunya di pulau kecil berpenduduk 300-an KK. Jalan itu tidak beraspal, berpasir putih tanpa debu dihiasi dengan restoran-restoran kecil dan distro-distro dengan suasana Kuta. Ada pula beberapa tempat yang menyediakan program snorkeling dan diving. Suasananya sangat nyaman karena bagi yang pernah berkunjung ke Bali, seakan-akan kita lupa bahwa kita sedang di Pulau Derawan karena barang-barang yang dijual mirip seperti yang dijual di Kuta. Yang membedakan adalah kita tidak akan pernah bisa menemukan lawar babi (masakan tradisional Bali), tidak menemukan mobil dan tidak mudah menemukan bir.

Semuanya indah dan unik, kecuali satu hal yang membuat hati saya miris. Saya melihat aksesoris gelang, gantungan kunci, mata kalung, bando dan huruf-huruf yang materialnya berasal dari karapas penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Lebih miris lagi ketika saya mendengar bagaimana cara orang Derawan mengambil karapas penyu sisik tersebut.

Penyu akan ditangkap dan punggungnya akan disiram air mendidih sehingga lapisan dari kapasnya bisa dikuliti dengan mudah. Penyu dengan sisik karapas yang sudah terkelupas itu dibuang begitu saja ke laut, dalam keadaan hidup. Pelaku dengan pengetahuan yang sangat minim beranggapan bahwa penyu itu akan hidup dan sisik di karapasnya akan tumbuh. Tetapi sebenarnya adalah penyu tidak dapat bertahan dengan luka di punggungnya dan akan mati dengan pelan dan menderita.

Saya heran sekali bahwa perdagangan penyu dan bagiannya sudah nyata dilarang oleh hukum dan UU no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam. Ada kantor Polisi di sana, juga stasiun TNI Angkatan Laut, dan juga orang DKP (Dinas Kelautan Dan Perikanan). Namun mereka tidak berkutik dan seakan menutup mata. Ketika saya melaporkan apa yang saya lihat dengan bukti foto ke KSDA di Berau, jawabannya macam-macam... mulai dari tidak berani, tidak ada perintah atasan dll.

Saya malah mendengar bahwa kepala desa Pulau Derawan adalah mantan eksploitator telur penyu di beberapa pulau di sana. Kacau Sekali. ProFauna tidak akan tinggal diam, kami akan Demonstrasi....!!!

 Penyu sisik yang masih sangat muda sudah harus di bantai
dan dijadikan ofsetan, betapa kejamnya.


Foto dari losmen-losmen yang terapung di Pulau Derawan

Cincing dari karapas penyu sisik

Gelang dari karapas penyu sisik

Suasana di jalanan "kota yang tanpa mobil"

Distro yang bernuansa Bali

Selasa, 29 Oktober 2013

Sea Turtle Killing In The Name of Religion



I have been living in Bali only for few months, yet I fell in love with Balinese people and their culture already. You would never see as beautiful culture as Balinese custom in other islands in this Indonesian archipelago.

But some people try to put this magnificent culture in a very bad image that lead international community tend to mock Balinese. Those people in video who kill sea turtle in Balinese outfit… they don’t represent Balinese people in common, I think. If you understand the language, then hatred would overwhelm your emotion upon those guy. 

Some cruel people with Balinese traditional outfit kill sea turtle teen, I don't think they are Balinese

This is very inconsistent, they just hide behind the religion issue to undertake their killing business.

Shame on them.

Check out the video:




Saya baru tinggal di Bali selama beberapa bulan saja, namun saya rasa bahwa saya telah jatuh cinta dengan Rakyat Bali dan budaya mereka. Saya bertaruh anda tidak akan bertemu budaya seindah budaya Bali di manapun di kepulauan Indonesia.

Namun beberapa orang mencoba membuat budaya ini menjadi jelek di mata internasional sehingga masyarakat internasional menjadi benci orang-orang Bali. Orang-orang yang di dalam video ini, yaitu mereka yang memakai pakaian Bali... sebenarnya mereka tidak sedang mewakili Rakyat Bali pada umumnya. Jika anda memahami bahasanya (di dalam video) maka anda akan dikuasai murka terhadap orang-orang itu.

Beberapa orang kejam yang memakai baju bali, saya tidak berpikir bahwa mereka adalah orang Bali.

Mereka sangat tidak konsisten, yang dengan pengecut bersembunyi di balik isu agama untuk membenarkan bisnis mereka.

Seharusnya mereka malu.



Senin, 28 Oktober 2013

Daihatsu, stop funding Kurma Asih

Kurma Asih is one of many groups in Bali that refer to themselves as sea
turtle conservationists, but I found them doing things that I would refer to as a
“sea turtle diminishing program”. Instead of letting the sea turtle
hatchlings go to their freedom in the sea directly after they hatched,
these “conservationists” rather put the poor things in
filthy shallow tanks, or even colourful wee buckets in such a high
density that they pretty much live in a pile.

Why would they put these hatchlings in captivity? Because
they would like to sell them to foreign tourists. They don't actually
call it “selling sea turtle babies,” but what would you call it if you
encountered a group of fake conservationists that offered to let you set sea turtle
babies free, but then after you finish setting the turtles free, they lead
you to a big book where you can see signatures and amounts of money the
visitors have given? Even with the huge amounts of money they receive, you
can still see the hatchlings are dying and decaying inside
those filthy buckets without anything that civilized people would call
medical treatment. Where does the money go?

Kurma Asih asks village people along the Jembrana Regency shore to compete
to hunt for as many sea turtle nests as they can find, and sell the eggs to Kurma Asih. They pay 1.000 Indonesian Rupiah or as much as 10 cents (per turtle?). Yet this activity causes a bad situation in which the sea turtle mothers ready
to lay their eggs are rather frightened back to the ocean. During the
low season I could walk on the beach for hours without encountering
anyone. It is dark, quiet and lonely as cemetery. But if you
stand there during the peak nesting season May to July, then you feel
like you are on a highway. Motorbikes with strong lights come and go,
searching for any chance to find sea turtle tracks. Instead of
searching for nests in a “sea turtle friendly” method by walking and using red
lights,etc., they tend to compete for finding the eggs by using
bikes. It's very sad.

Whenever they find a sea turtle mother nesting, these villagers will
immediately approach her, then put a plastic bag inside her egg pit and
let the mother drop the eggs directly into the plastic bag. When the
mother is ready to cover her pit with sand, they just grab her rear flipper and toss her aside! They did that in front of me
and the Kurma Asih guy! I tried to tell them that that was wrong, totally
wrong, but they didn't seem to care, and I didn't get any
help from the Kurma Asih guy. I guess he didn't have the guts.

When ProFauna investigated the situation, we noticed that these people
have a problem with sea turtle eggs hatching, since they just put the eggs
in a plastic bag then drape it over their motorbike. They'll take any shortcut without caring how rough the road is. Can you
imagine how those eggs bounce around? The best egg relocating method
is to put them in a bucket and
carry it very gently, especially when they transport it by
automobile.

To make a long story short, we can prove that Kurma Asih doesn't do
the job of a professional sea turtle conservation group. I rather see
this is as much more of a lucrative family business than a conservationist
effort. Tourists come along, representing governments and companies, and give their
money to Kurma Asih, joining in the “conspiracy” to reduce the number of one of the
endangered species in Indonesia - the sea turtle. We at ProFauna are trying the best we
can to persuade Kurma Asih not to keep capturing sea turtle hatchlings, and we ask them to stop buying eggs from villagers, because
it is against Indonesian regulations. But instead they just keep ignoring us.

We sent a letter to the chief of Jembrana Regency on September
19th 2013 asking the local government not to help Kurma Asih with
money, as Kurma Asih always just spends the money to buy more eggs, hatch
the eggs, and keep the babies in very bad conditions while they wait for months for the tourists to arrive. Many of them die during this time, and
those who survive face the certain danger of death because
they become reliant on humans for their food, etc. The young turtles that survive and are released
tend to approach any boat or person because they are accustomed to being fed
by people. I even hear fishermen talk about a surefire method for getting a big catch: by using sea turtle hatchlings as a bait!

Daihatsu is a giant wealthy automobile company that helps Kurma Asih
financially. We still don't have any idea if Daihatsu knows that Kurma Asih
treats sea turtle babies so poorly. It is very hard to contact Daihatsu. A while back ProFauna tried by email and a letter to contact their office in Jakarta. When we didn't hear back from them, we asked our supporters in all of
Indonesia to bombard Daihatsu with protest letters. Finally, they responded to us by email on October 22nd 2013
saying that they were going to ask Kurma Asih about this.

We think that is not quite enough, and rather strange that Daihatsu
is going to check out Kurma Asih by themselves without
inviting ProFauna as an official investigator. We need more people to send
more letters and emails to the Daihatsu company. It is much better if
somebody outside of ProFauna who knows about the dangers of sea turtle
"headstarting" could convince Daihatsu to persuade Kurma Asih to
stop keeping the hatchlings in captivity and to stop buying eggs from
the villagers. The real conservationists never raise sea turtles or do any kind of commerce with its eggs.

With this we would like to ask you to please join us and ProFauna Indonesia's supporters along with Daihatsu consumers to send protest
letters to the Daihatsu company. Let us together ask Daihatsu to stop helping Kurma Asih financially and to stop the sea
turtle egg trade and stop sea turtle headstarting at Kurma Asih.

Below is the contact information for PT. Astra Daihatsu Motor:

hotline@daihatsu.astra.co.id

Jl. Gaya Motor III No. 5 Sunter II,
Jakarta 14330
Telp: (021) 6510300/400/500
Fax: (021) 6510606

Many Thanks and Best Regards,

Bayu Sandi
ProFauna Campaign Officer

Senin, 21 Oktober 2013

Syarat Relokasi Telur Penyu

Ada beberapa kegiatan dalam upaya konservasi penyu, salah satunya adalah teknik pemindahan/ relokasi telur penyu. Sebenarnya pilihan terbaik adalah membiarkan telur penyu menetas di pantai sendiri secara alami, namun terkadang pelaku konservasi tidak dapat menghindari memindahkan telur penyu dengan berbagai alasan, antara lain:
- Pantai sudah terdampak abrasi parah
- Terlalu banyak predator sehingga sarang penyu susah untuk diawasi di habitat alami
- Adanya bahaya dicuri manusia untuk dikonsumsi

Untuk mengusahakan tingginya keberhasilan penetasan telur penyu pada sarang semi alami, sebaiknya faktor-faktor dibawah ini diperhatikan:

  • Sarang boleh direlokasi karena letak sarang tidak aman dari predator alami (biawak, anjing, rubah, ular dll) atau karena sarang tersebut terletak di daerah keramaian (play ground anak kecil, dekat dengan lalu lalang nelayan, atau karena ada kemungkinan dicuri manusia)
  • Sarang sebaiknya direlokasi dalam kurun waktu kurang dari 12 jam.
  • Penggalian harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak telur
  • Dilarang menaruh telur di dalam kresek plastik, karena tekanan pada telur tidak merata dan akan merusak telur tersebut. Sebaiknya menggunakan ember (karena permukaannya lebih stabil dibanding kresek) yang telah diberi pasir dahulu untuk memberikan bantalan yang lebih empuk.
  • Posisi telur agar ditandai dan dijaga supaya tidak berubah atau jungkir balik pada saat proses penanaman kembali.
  • Kedalaman dan lebar sarang yang asli harus diukur, untuk diterapkan di sarang semi alami (hatchery)
  • Pemindahan sarang hendaknya dilakukan dengan sangat lembut dan ekstra hati-hati, terlebih jika menggunakan kendaraan bermotor. Guncangan pada kendaraan tidak baik pada telur penyu.
  • Lubang sarang semi alami harus ditimbun dengan pasir pantai dekat dengan supratidal (batas tertinggi air pasang naik)
  • Diberi tanda papan yang diberi tanggal dan keterangan.
  • Sarang-sarang semi alami (hatchery) harus diberi pagar untuk menjauhkan predator
  • Posisi sarang semi alami harus dijaga dari akar tanaman yang berpotensi menjerat tukik
  • Posisi sarang semi alami harus diperhitungkan agar tidak terlalu teduh atau panas untuk menjaga sex ratio atau keseimbangan rasio jenis kelamin tukik.
  • Sarang semi alami harus bebas dari kontaminasi bahan kimia berbahaya
  • Sarang semi alami harus bebas dari partikel-partikel yang membahayakan tukik, coral, batu logam dan beling.
  • Sarang semi alami harus bebas dari gangguan pasang naik air laut
  • Sarang semi alami harus bebas dari ancaman abrasi


    Peletakan sarang semi alami harus memperhatikan tempat:
    tidak terlalu teduh atau panas, aman dari abrasi dan gangguan 
    air dari pasang tertinggi air laut.


    Untuk menghindari akar, sebaiknya sarang dilindungi oleh
    batu bata disekelilingnya, tapi pastikan bagian bawah tidak dicor
    supaya air tidak menggenang di dalam sarang

    Sarang semi alami harus menggunakan pasir terdekat dengan daerah
    supratidal (batas tertinggi air laut).



Jumat, 18 Oktober 2013

Deformation

I saw these pity deformed seaturtle babies in Bilang-bilangan Island during my 10 days visit, learning about Green Sea Turtle (Chelonia mydas). One of the Turtle Foundation staff has invited me to follow him doing daily patrol to whole over sectors on that tiny remote island to rescue possible trapped sea turtle baby in their nests.

I was sad to see some of the sea turtle babies died during their effort to meet their freedom. Sometimes, the green sea turtle mothers don't nest in the best nesting area. I have seen them nesting on the sand area covered by roots or (worse) contain a lot of coral debris in it. I dug up a sea turtle nest when I was told it was empty (from sea turtle babies), but then I found three babies there not in a best shape. Suddenly I remember my camera and take their picture.

Take a look at these three videos:








I am happy to know there are good people in this island taking care those sea turtle babies and their nests. I am happy for this opportunity provided by Turtle Foundation so that I can experience to caress and feel the cuteness of green sea turtle babies. I am happy to learn their behaviour.

Langsung Ke Laut VS Head Starting (Pembesaran Tukik)



Setelah tukik-tukit selamat dari dimangsa oleh predator-predator, maka dia akan melanjutkan perjalanan menuju ke laut yang lebih dalam dimana mereka menuju tempat yang jumlah predatornya sedikit jumlahnya. Di laut yang lebih dalam, mereka akan hanyut ke dalam arus yang cukup kuat yang tidak dapat dilawan oleh tukik-tukik tersebut. Tukik tersebut akan beristirahat mengikuti arus selama beberapa hari dan memakan makanan alami mereka yang hanyut dalam arus tersebut. Masa-masa ini disebut dengan masa-masa yang hilang “the lost years”. Setelah tukik tersebut dewasa menjadi penyu, maka mereka biasanya akan kembali ke perairan di mana mereka ditetaskan untuk melakukan proses kawin dan bertelur.

Istilah head starting adalah usaha manusia untuk melakukan pembesaran tukik hingga ukuran tertentu yang dirasa cukup bagi tukik melakukan perjalanan secara aman menuju laut tanpa dimangsa predator. Tujuannya positif namun hingga saat ini tidak ada penelitian ilmiah yang bisa membuktikan bahwa cara ini (headstarting) membuahkan hasil. Sejauh ini hanya ada satu departemen yang pernah melakukan penelitian kegiatan headstard terhadap tukik dengan skala kegiatan yang paling besar dan paling lama yaitu DNR – Department of Natural Resources di Florida. Mereka melakukan headstard terhadap 18.000 tukik dalam rentang waktu 30 tahun, mulai 1958-1988. Kemudian penelitian dihentikan karena tidak ada bukti bahwa kegiatan ini berhasil, dan tidak ada satupun penyu hijau hasil dari kegiatan headstart yang berhasil didokumentasikan bertelur.

Proses headstart memiliki beberapa kelemahan antara lain:
  • Berpotensi membunuh insting liar tukik. Setelah tiga hari dilakukan headstart, biasanya tukik lebih malas/ lebih lemah untuk merangkak ke air. Manusia biasanya mensiasati dengan melepaskan tukik-tukik langsung ke air. Padahal seharusnya tukik merangkak sendiri minimal 5 meter di permukaan pasir sebelum mereka masuk air. Ini merupakan latihan fisik pertama para tukik.
  • Tukik menjadi tergantung kepada manusia. Banyak sekali kasus dimana tukik yang dibesarkan menjadi sangat tergantung kepada manusia. Para tukik terlihat berkeliling disekitar pulau dan memiliki kecenderungan mendekati manusia karena terbiasa diberi makan oleh manusia.
  • Kacaunya siklus alami perkembangan dan kehidupan penyu. Tukik yang mengalami headstarting akan kehilangan kemampuan untuk mengikuti siklus alami kehidupan mereka, karena para tukik sudah kehilangan yolk/ zat kuning telur/ cadangan makanan yang berguna sebagai bekal selama proses hanyut di dalam arus laut. Hilangnya yolk tersebut karena sudah habis terpakai oleh tukik itu sendiri pada saat tukik disimpan terlalu lama di bak penampungan pada saat kegiatan headstarting. Mereka akan kelaparan dan mati di laut karena mereka tidak dapat mengenali makanan alami mereka (karena sudah dibiasakan dengan makanan yang diberikan manusia)
  • Jika tidak mati karena kelaparan, dikhawatirkan tukik akan mati dengan kondisi lingkungan alami mereka yang baru yang jauh berbeda dengan kondisi di kolam pembesaran yang tanpa arus, tanpa ombak dan tanpa predator.
  • Dengan alasan-alasan diatas maka dikhawatirkan penyu tidak dapat meneruskan keturunan dan punah.

Di Indonesia kebanyakan Kelompok Pelestari Penyu melakukan kegiatan headstarting untuk menarik lebih banyak turis asing untuk datang ke tempat mereka dan sehingga turis-turis itu harus membayar sejumlah uang untuk dapat merilis/ melepas tukik, atau menarik perhatian pemerintah dan individu yang merasa iba dengan kegiatan “mulia” kelompok pelestari. Padahal apa yang dilakukan oleh kebanyakan para "pelestari" penyu di Indonesia itu bahkan tidak layak disebut dengan kegiatan headstarting karena:
  • Headstarting didasari oleh niat baik untuk menyelamatkan tukik, sementara di Indonesia headstarting dilakukan dengan modus untuk mendatangkan turis dan untuk mendatangkan bantuan pemerintah.
  • Proses headstarting dilakukan dengan cara menaruh tukik di dalam kolam sedalam 5 hingga 15 cm. Hal ini membuat paru-paru tukik tidak dapat berkembang dan menambah resiko mereka tidak selamat di alam setelah mereka dilepaskan secara tiba-tiba di laut.
  • Tukik diberi makanan daging ikan cincang, bukan ikan atau udang hidup. Ini akan menumpulkan insting tukik untuk memburu makanan alami mereka.
  • Tukik ditaruh dalam kolam atau bak kecil dalam situasi saling berhimpitan. Padahal di alam/ habitat aslinya tukik adalah binatang soliter/ penyendiri.
  • Di beberapa tempat di Indonesia, tukik diberi air payau alih-alih air laut. Dengan berkembangnya teknologi, kelompok pelestari cenderung membor pinggiran pantai untuk mendapatkan air untuk mengisi kolam tukik daripada mereka harus bersusah payah setiap hari harus mengangkuti air laut dari pantai dengan ember dan kereta dorong. Tukik yang telah beradaptasi dengan air payau kemudian secara tiba-tiba dilepas kelaut akan membahayakan tukik tersebut karena dikhawatirkan ginjalnya tidak dapat beradaptasi dengan air laut yang kadar garamnya lebih tinggi daripada air payau.

    Belum lagi kebanyakan dari pelestari penyu abal-abal itu tidak mengerti dengan pengobatan apapun apabila mereka menemukan adanya tukik yang terkena penyakit akibat pengelolaan yang amburadul. Jadinya tukik sakit, dan pasti mati apabila dilepas ke laut.


    (berjamur) ini akibatnya kalau tukik dibesarkan oleh orang-orang
    yang tidak memiliki pendidikan penyu yang motivasinya 
    uang melulu. Lihat juga background air yang kotor.


    Ini adalah tukik-tukik yang mati karena terkena jamur, saya heran
    sekali dengan minat turis asing yang masih tinggi untuk 
    mendatangi tempat "konservasi" abal-abal macam gini



    Bahkan tukik yang mati membusuk seperti ini juga tidak diangkat
    bangkainya menebar penyakit ke tukik-tukik yang lain
    coba lihat kotoran tukik bercampur di kolam


    Tukiknya sudah gembung dan mengeluarkan bau yang tidak sedap
    orang yang memperlakukan tukik seperti ini seharusnya dipenjara

Biasanya tukik dijual dengan harga antara Rp10.000, Rp.50.000, Rp.75.000 hingga Rp.200.000 bergantung kepada usia tukik tersebut dan dimana mereka dijual. Sementara apabila tukik dibesarkan lewat program headstarting dengan suasana mendekati kondisi alami di laut (tangki besar, kepadatan tukik rendah, ada arus dan ombak buatan, makan segar/hidup), dalam jangka waktu 3 bulan saja program akan menghabiskan dana Rp.350.000 per tukik. Dengan angka semacam itu jelas didapat kesimpulan bahwa program headstarting sangat mahal dan tidak menguntungkan untuk bisnis. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan tukik tersebut apabila pelaku berani melepas tukik dengan harga Rp.50.000 atau Rp.75.000, apakah para tukik tidak kelaparan dengan proses pembesaran minim biaya tersebut?

Kesimpulannya headstart tidak cocok dilaksanakan di Indonesia karena headstart yang sejati biayanya mahal sementara tidak akan ada siapapun yang mau membiaya program yang mahal tersebut. Sehingga Direct Release adalah satu-satunya pilihan konservasi penyu yang ramah penyu.